Yusnia Indah Zainurrohmah, yusnia.indah.2301216@students.um.ac.id
Abstrak : Pada zaman modern ini, tentu membingungkan bahwa masih banyak laki-laki tidak percaya diri ketika memiliki pasangan dengan pendidikan yang tinggi. Umumnya laki-laki yang tidak percaya diri ini cenderung membuat opini yang buruk terkait perempuan berpendidikan tinggi. Mereka melakukan hal ini dengan maksud untuk menutupi ketidakpercayaan diri mereka serta ingin memvalidasi bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan adalah sebuah kesia-siaan. Faktor penyebab permasalahan ini berakar dari stereotip laki-laki yang harus selalu mendominasi perempuan. Stigma kuno ini membelenggu laki-laki dengan beban yang berat apabila laki-laki berada di bayang-bayang pasangannya.
(RP1) Konstruksi Gender Sosial
Seringkali, kepercayaan bahwa pria adalah pencari nafkah dan pemimpin keluarga sering dikaitkan dengan masyarakat yang masih menganut budaya patriarki. Norma dan tradisi menanamkan dinamika ini, sehingga perempuan yang melanjutkan pendidikan tinggi dapat dianggap sebagai pengganggu tatanan ini. Bagi beberapa pria, mendapatkan pendidikan tinggi membuat mereka merasa terancam karena mereka khawatir peran mereka sebagai pencari nafkah dan pemimpin keluarga akan tergantikan oleh perempuan.
Ada banyak penyebab ketakutan ini. Pertama, ada stereotip yang melekat pada perempuan bahwa mereka tidak mampu menjadi pencari nafkah atau pemimpin yang sukses. Kedua, ada kekhawatiran bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan menjadi lebih ambisius dan mandiri, sehingga tidak lagi tunduk pada standar patriarki konvensional. Terakhir, ada kecemasan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan membuat pria merasa mereka lebih lemah.
(RP2) Ketakutan Tak Mampu Mengejar
Pria dengan pendidikan rendah terkadang khawatir ketika berhubungan dengan perempuan dengan pendidikan tinggi. Ini karena perbedaan pendidikan ini dapat menyebabkan rasa tidak mampu dan minder, terutama ketika menghadapi percakapan yang panjang atau referensi pendidikan yang berbeda.
Ada sejumlah penyebab ketakutan ini. Pertama, stereotip laki-laki bahwa mereka harus selalu lebih pintar dan sukses daripada perempuan. Kedua, ada kekhawatiran bahwa perempuan dengan pendidikan tinggi akan memiliki tingkat pemikiran yang lebih tinggi, yang membuat mereka sulit untuk berinteraksi dan memahami. Ketiga, ketakutan bahwa mereka akan merasa tertinggal dan tidak nyambung karena berbagai diskusi dan referensi akademik.
Penting untuk diingat bahwa perbedaan pendidikan tidak selalu menjadi hambatan dalam hubungan. Perempuan dengan pendidikan tinggi tidak selalu mencari pasangan dengan pendidikan yang sama.
(RP3) Stereotip Negatif
Pandangan pria terhadap perempuan yang cerdas dan berpendidikan tinggi mungkin dipengaruhi oleh stigma bahwa mereka lebih dominan dan arogan. Mereka mungkin tidak mau mendekati atau menjalin hubungan dengan perempuan berpendidikan tinggi karena ketakutan ini.Seringkali, pandangan yang salah didasarkan pada stereotip dan asumsi yang tidak berdasar. Perempuan yang pintar dan berpendidikan tinggi tidak selalu arogan atau mengontrol orang lain. Mereka dapat ramah, rendah hati, dan menyenangkan. Stigma ini bisa berbahaya karena dapat membatasi pilihan perempuan dan kesempatan mereka untuk menjalin hubungan yang sehat.
Pria harus membuka diri dan mengenal perempuan berpendidikan tinggi untuk mengetahui bahwa mereka tidak seperti yang digambarkan dalam stigma. Perempuan berpendidikan tinggi juga harus melawan stigma ini dengan menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang kuat dengan berbagai kualitas, bukan hanya pengetahuan dan kecerdasan.
(RP4) Kurangnya Rasa Percaya Diri
Pria yang tidak percaya diri mungkin merasa sulit menjalin hubungan dengan perempuan berpendidikan tinggi. Kadang-kadang, perbedaan pendidikan ini menyebabkan pertanyaan tentang kemampuan diri untuk membuat pasangan bahagia dan perasaan tidak pantas. Penting untuk diingat bahwa tingkat pendidikan seseorang tidak menentukan rasa percaya diri dan nilai dirinya. Pria yang tidak cukup pendidikan juga dapat menjadi pasangan yang membantu, penyayang, dan mampu membuat wanita bahagia. Sangat penting untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur, memprioritaskan kekuatan dan kelebihan diri, dan menghargai minat dan pencapaian satu sama lain.Selain itu, sangat penting bagi pasangan perempuan untuk mendukung satu sama lain. Perempuan berpendidikan tinggi harus menunjukkan empati dan pengertian terhadap keraguan pasangannya.
(RP5) Tekanan dari Lingkungan
Dalam beberapa komunitas, perempuan dianggap tidak memerlukan pendidikan tinggi. Pria yang dibesarkan dengan norma-norma ini merasa canggung atau malu jika pacarnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi karena pandangan ini. Beberapa faktor menyebabkan rasa canggung dan malu ini muncul. Pertama, pandangan konvensional tentang lingkungan sosial masih menjadi masalah. Kedua, ketakutan bahwa wanita berpendidikan tinggi akan lebih kritis dan sulit berkomunikasi. Ketiga, ketakutan bahwa mereka akan merasa tertinggal dan tidak nyambung karena perbedaan pendidikan.
(RP6) Ketidakcocokan dalam Visi Kehidupan
Hubungan dapat terganggu karena perbedaan pandangan hidup dan harapan. Pria yang menginginkan pasangan yang fokus pada keluarga mungkin merasa tidak cocok dengan perempuan yang berambisi untuk bekerja di bidang akademik.
Diferensiasi ini dapat menyebabkan sejumlah masalah. Pertama, ketidakcocokan dalam prioritas dan gaya hidup menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang sering terjadi. Kedua, kedua pihak frustasi dan kecewa karena merasa tidak didukung dalam mencapai tujuan mereka. Ketiga, kurangnya rasa saling pengertian dan kompromi menyebabkan keretakan dalam hubungan emosional. Namun, tidak ada cara untuk mengatasi perbedaan ini. Kuncinya adalah berkomunikasi dengan terbuka dan jujur sejak awal hubungan.
(RP7) Kesempatan untuk Introspeksi
Penting untuk diingat bahwa perempuan berpendidikan tinggi tidak hanya membantu mereka sendiri, tetapi juga pria yang berhubungan dengan mereka. Pria dapat memanfaatkan pencapaian perempuan sebagai kesempatan untuk introspeksi dan pengembangan diri, daripada merasa terancam olehnya.
Perempuan berpendidikan tinggi biasanya memiliki pemikiran kritis, kemampuan komunikasi, dan wawasan yang luas. Mereka dapat mendorong pria untuk menjadi lebih terbuka terhadap gagasan baru, memperluas pengetahuan mereka, dan mengembangkan cara berpikir yang lebih kritis. Selain itu, wanita berpendidikan tinggi dapat menjadi sumber inspirasi bagi pria untuk mencapai tujuannya.
Pria dapat termotivasi untuk meningkatkan pencapaian mereka sendiri dengan melihat pencapaian perempuan. Mereka dapat belajar dari kegigihan, ketekunan, dan kerja keras yang ditunjukkan perempuan dalam mencapai tujuan mereka.
Daftar Pustaka
Indriyany, I., Hikmawan, M. D., & Utami, W. (2021). Gender dan Pendidikan Tinggi: Studi tentang Urgensitas Kampus Berperspektif Gender. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 6, 55–72. https://doi.org/10.14710/jiip.v6i1.9376
Julianti, A., Ete, E. V., Puspita, E. S. I. M., Sallalu, A. R. H., & Ramadhani, U. E. (2022). Gender dan Konstruksi Perempuan dalam Agama “Pentingnya Kesetaraan Gender untuk Penghapusan Sistem Patriarki.” Moderasi: Jurnal Kajian Islam Kontemporer, 1(01), Article 01. https://journal.forikami.com/index.php/moderasi/article/view/222
Khayati, E. Z. (2008). Pendidikan dan Independensi Perempuan. Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam, 6(1), 19. https://doi.org/10.14421/musawa.2008.61.19-35
Suparno, S., Hastin, M., Sumiartini, N., Lestari, D., Vanchapo, A., & Mokodenseho, S. (2023). Persepsi Masyarakat Terhadap Pentingnya Pendidikan Tinggi Untuk Kaum Perempuan. Journal on Education, 6, 3635–3641. https://doi.org/10.31004/joe.v6i1.3461
Wulantami, A. (2018). PILIHAN RASIONAL KEPUTUSAN PEREMPUAN SARJANA MENJADI IBU RUMAH TANGGA. Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi, 7(1), Article 1. https://doi.org/10.21831/dimensia.v7i1.21049
Zulaikha, S., & Firmonasari, A. (2023). Wacana Stigmatisasi Perempuan Berpendidikan Tinggi yang Terefleksikan Melalui Media Sosial YouTube. MIMESIS, 4, 191–201. https://doi.org/10.12928/mms.v4i2.8623