Mencari Logika yang Hilang: Menelaah Argumentasi Penulis tentang Feminisme

Fauziah Nur Aisyah Rosyidah fauziah.nur.2303336@students.um.ac.id

Abstrak Analisis argumen tentang feminisme yang tertuang dalam karya sastra dan film Indonesia. Masih banyak perdebatan dan misinterpretasi tentang feminisme di masyarakat. Karya sastra dan film dapat menjadi alat untuk menyampaikan pesan tentang feminisme dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Novel Lautan Bercerita merepresentasikan budaya patriarki yang masih mendominasi masyarakat, namun menunjukkan pula bahwa perempuan mampu menunjukkan kebebasan, keberanian, dan perjuangannya. Novel ini menghadirkan kritik terhadap feminisme yang mengabaikan peran domestik perempuan dan menekankan pentingnya pendidikan dan keseimbangan peran ganda bagi perempuan karir. Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah “feminisme”, Kartini dalam novelnya menyampaikan pemikiran yang sejalan dengan prinsip-prinsip feminisme. Kartini meyakini bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dan memperjuangkan emansipasi perempuan. Film ini memvisualisasikan feminisme melalui berbagai elemen, seperti pengambilan gambar, cerita, dan pesan. Pandangan Kartini tentang feminisme masih relevan hingga saat ini. Epos ini menunjukkan kekuatan setara perempuan melalui konstruksi kosmologis yang diharmonisasikan. Makna eksistensi perempuan Sunda tidak lagi hanya mitos, tetapi telah mewujud dalam kehidupan sehari-hari perempuan Sunda modern. Film ini merepresentasikan nilai-nilai feminisme melalui berbagai elemen visual dan naratif. Maleficent digambarkan sebagai perempuan yang kuat, mandiri, dan kompleks, yang menantang stereotip tradisional tentang perempuan dalam film.

  • Warna ⇒ menjelaskan tema utama
  • Warna ⇒ menjelaskan kondisi yang sekarang
  • Warna ⇒ menjelaskan ringkasan tulisan yang kita buat
  • RP (1) Mengulik Feminisme di dalam buku lautan bercerita

Karya sastra menjadi alat yang efektif untuk mengungkapkan argumen yang meyakinkan pembaca dibungkus dengan ringan dan entertainment. Novel Lautan Bercerita menjadi salah satu nya yang mengemas argumen tentang feminisme dengan ringan. Novel Lautan Bercerita merepresentasikan budaya patriarki yang masih mendominasi masyarakat. Novel Lautan Bercerita menunjukkan bahwa perempuan mampu menunjukkan kebebasan, keberanian, kekuatan, dan perjuangannya. Penggambaran perempuan yang kuat dan mandiri, meskipun terdapat narasi yang dominan masih menunjukkan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Namun, para tokoh laki-laki dalam novel tersebut mengakui bahwa perempuan mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial dan tidak boleh dipandang sebagai warga negara kelas dua. (Tarigan & Hayati, 2023).

  • RP (2) Mengulik perempuan karir lewat novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan

Novel “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” menghadirkan kritik terhadap feminisme yang mengabaikan peran domestik perempuan. Novel menekankan pentingnya pendidikan dan keseimbangan peran ganda bagi perempuan karir. Novel memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang feminisme dan peran perempuan dalam masyarakat. Novel membantu perempuan karir dalam menyeimbangkan peran ganda mereka dan menghindari permasalahan yang dialami karakter utama. Novel mengkritik feminisme yang hanya fokus pada kesetaraan hak di luar rumah, tanpa memperhatikan peran domestik perempuan. Feminisme seharusnya menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan karir untuk mampu menyeimbangkan peran ganda mereka (NOVIA, 2024). Namun, perlu kita renungkan kritik terhadap feminisme masih relevan dengan kondisi perempuan saat ini dan peran laki-laki dalam kegiatan rumah tangga.

·       RP (3) Mengulik

sejarah perempuanlewat novel “Habis Gelap Terbitlah Terang” 

Meskipun

tidak secara eksplisit menggunakan istilah “feminisme”, Kartini dalam

“Habis Gelap Terbitlah Terang” menyampaikan pemikiran yang sejalan

dengan prinsip-prinsip feminisme. Kartini meyakini bahwa perempuan dan

laki-laki memiliki hak yang sama, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan,

bekerja, dan berkontribusi pada masyarakat. Kartini menekankan pentingnya

pendidikan bagi perempuan sebagai kunci untuk mencapai kemandirian dan

kesetaraan. Kartini menentang tradisi patriarki yang membatasi peran perempuan

dalam masyarakat dan memperjuangkan emansipasi perempuan. Karyanya menjadi

inspirasi bagi perjuangan perempuan di Indonesia dan menunjukkan bahwa

feminisme bukan hanya tentang hak-hak perempuan, tetapi juga tentang

kemanusiaan dan kemajuan bangsa (Ima et al., 2020).

·   RP (4) Visualisasi “Feminisme” dalam film Kartini

Film Kartini memvisualisasikan feminisme melalui berbagai elemen, seperti: Pengambilan gambar, Shot-shot kontras: Menampilkan perbedaan antara budaya patriarki dan cita-cita Kartini. Close-up: Menangkap ekspresi Kartini yang berani dan bertekad. Long shot/medium shot: Menampilkan budaya patriarki yang menomorduakan perempuan.Dari segi cerita, Kartini dibesarkan dalam budaya patriarki, namun memiliki pandangan kritis terhadap ketidakadilan gender. Kartini memperjuangkan persamaan hak dalam pendidikan, kedudukan sosial, dan ekonomi. Kartini ingin perempuan bebas mengkonstruksikan diri, menjadi subjek, bekerja, dan menjadi intelektual. Film ini menunjukkan bahwa feminisme dapat diperjuangkan melalui berbagai cara, termasuk melalui seni dan film. Pandangan Kartini tentang feminisme masih relevan hingga saat ini. Film Kartini berhasil memvisualisasikan feminisme eksistensialis melalui berbagai elemen, seperti pengambilan gambar, cerita, dan pesan. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan tentang kesetaraan gender dan pentingnya perjuangan Kartini (Ayuningtyas, 2019).

·   RP (5) Dalam Epos Lutung Kasarung

Perempuan Sunda didefinisikan sebagai perempuan yang tinggal di tanah Sunda dan/atau yang menjalankan falsafah Tri Tangtu dalam kesehariannya. Tulisan ini mengkaji makna perempuan Sunda melalui epos Lutung Kasarung dengan perspektif Van Peursen. Ditemukan bahwa Sunan Ambu bukan hanya gelar untuk Ibu, tetapi juga bagi mereka yang memiliki sifat pengasuh dan kasih sayang dalam mengurus anak. Dimensi Sunan Ambu ini ditarik dari kepercayaan asal-usul dunia dan dipadukan dengan pola tiga Sunan Ambu. Eksistensi perempuan Sunda berpijak pada Tri Tangtu (Kersa, Kawasa, Karana) dan dimensi Sunan Ambu (Betari, Pohaci, Aksari). Oposisi biner Indung (Ibu dan Bapak) dan Sang Hyang (Sang Hyang dan Sang Hyang Sri) diharmonisasikan untuk menunjukkan kekuatan setara perempuan. Konstruksi kosmologis ini memanifestasikan makna eksistensi perempuan dalam epos Lutung Kasarung. Makna eksistensi perempuan Sunda tidak lagi hanya mitos atau sistem metafisik, tetapi telah mewujud dalam kehidupan sehari-hari perempuan Sunda modern. Epos Lutung Kasarung, meskipun tidak lagi dipercaya sebagai mitos, maknanya tentang perempuan Sunda masih hadir dalam kehidupan masyarakat Sunda (Haq et al., 2023).

·   RP (6) Mengulik Nilia “Femi” dalam Film Maleficent

Film Maleficent merepresentasikan nilai-nilai feminisme melalui berbagai elemen visual dan naratif. Maleficent digambarkan sebagai perempuan yang kuat, mandiri, dan kompleks, yang menantang stereotip tradisional tentang perempuan dalam film.Nilai-nilai feminisme terwakili dalam kode penampilan, tata rias, kostum, perilaku, lingkungan, dan cara bicara Maleficent. Maleficent digambarkan sebagai perempuan aktif dengan sisi feminin, mandiri, berani, kuat, dan tegas. Maleficent memiliki hubungan erat dengan alam. Maleficent berbicara dengan tegas dan lembut.  Nilai-nilai feminisme terwakili melalui kode teknik dan kode representasi konvensional.  Sudut pengambilan gambar low angle digunakan untuk menunjukkan kekuatan dan kesetaraan Maleficent dengan karakter laki-laki. Maleficent digambarkan sebagai perempuan yang aktif. Film ini mengandung pesan tentang konflik antar kerajaan yang berkaitan dengan feminisme. Tindakan Maleficent menunjukkan bahwa ia mampu bangkit dari kesedihan dan keterpurukan. Maleficent memiliki karakter yang tegas, bertanggung jawab, penyayang, dan pemaaf (Diani et al., 2017).

·       Melampaui Stigma, Meraih Masa Depan Cerah: Membangun Narasi Baru tentang ‘Femi’ dan Menciptakan Dunia yang Lebih Adil

Stigma terhadap ‘femi’ berbau negatif telah lama menyelimuti masyarakat, menciptakan misinterpretasi dan menghambat kemajuan menuju kesetaraan gender. Stigma ini, yang sering kali dipicu oleh ketakutan, ketidaktahuan, dan propaganda anti-feminisme, telah melahirkan narasi negatif yang mendistorsi makna ‘femi’ dan perjuangannya. Namun, alih-alih terjebak dalam narasi stigma, kita harus berani melampauinya. Kita perlu membangun narasi baru tentang ‘femi’ yang berlandaskan pada pemahaman, edukasi, dan dialog terbuka. Narasi ini harus mencerminkan esensi ‘femi’ sebagai gerakan yang memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan inklusivitas bagi semua tanpa memandang gender. Membangun narasi baru ‘femi’ membutuhkan upaya kolektif. Kita harus bersatu, mengedukasi diri dan orang lain, serta melawan stereotip dan misinformasi. Kita harus membuka ruang untuk dialog yang konstruktif dan inklusif, di mana berbagai perspektif didengarkan dan dihargai. Dengan melampaui stigma dan membangun narasi baru ‘femi’, kita dapat membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Masa depan di mana kesetaraan gender bukan lagi mimpi, tetapi kenyataan yang diwujudkan bersama. Masa depan di mana ‘femi’ diakui sebagai kekuatan positif yang membawa perubahan dan kemajuan bagi semua. Suara dan tindakan dari kita semua secara bersama-sama membangun narasi baru ‘femi’ dan menapaki jalan menuju masa depan yang lebih adil dan inklusif.

·       Daftar Pustaka

Ayuningtyas, N. Y. (2019). Visualisasi Feminisme Eksistensialis Dalam Adegan-Adegan Film Kartini. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Diani, A., Lestari, M. T., & Maulana, S. (2017). Representasi feminisme dalam film Maleficent. ProTVF, 1(2), 139–150.

Haq, M. Z., Aprianti, P., & Djunatan, S. (2023). Eksistensi Perempuan Sunda Berdasarkan Dimensi Sunan Ambu dalam Epos Lutung Kasarung. Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama, 6(1), 13–24.

Ima, D., Restu, N., & Yusuf, S. (2020). Nilai-nilai pendidikan karakter RA Kartini dalam buku habis gelap terbitlah terang. At-Thullab: Jurnal Mahasiswa Studi Islam, 2(1), 350–361.

NOVIA, R. D. (2024). KRITIK IHSAN ABDUL QUDUS TERHADAP FEMINISME DALAM NOVEL “AKU LUPA BAHWA AKU PEREMPUAN.” UIN RADEN INTAN LAMPUNG.

Tarigan, D., & Hayati, S. (2023). Analisis Eksistensialisme Feminisme dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila Salikha Chudori. ENGGANG: Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni, Dan Budaya, 3(2), 290–299.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *