SMA: BEBAS STEREOTIP? MUNGKINKAH?

Annisa Alya Risaiani, annisa.alya.2301216@students.um.ac.id

Stereotip, kata ini mengacu pada pandangan masyarakat di dalam suatu lingkungan dimana, penggeneralisasian pada individu yang ada pada suatu kelompok tanpa informasi yang memadai dengan mengabaikan ciri individu-individu yang berada pada kelompok tersebut. SDGs atau sustainable development goal, yang merupakan acuan yang ditetapkan PBB (Perserikatan bangsa-bangsa) dalam berkehidupan lebih baik, dimana 2 dari 17 poin yang ada di dalamnya yakni pendidikan yang bermutu dan kesetaraan gender.

Pandey Pandey (2017) mengatakan bahwa selama 15 tahun terakhir ini telah ada perbaikan – perbaikan dalam kaitannya dengan kehidupan dan kesejahteraan perempuan. Meskipun mungkin sulit untuk sepenuhnya menghapus stereotip, upaya untuk menguranginya dapat membawa kita lebih dekat pada penghargaan yang lebih besar terhadap keberagaman dan kompleksitas manusia.

SMA Bebas stereotip?

SMA bebas stereotipe, kalimat tersebut mengacu pada suatu sekolah yang tidak mengikuti atau menjadi terikat oleh stereotip yang tidak seimbang atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat. Namun, dalam hal ini, kata “bebas” tidak memiliki arti yang tepat. Stereotip adalah pandangan yang tidak sesuai dengan kemungkinan yang ada, yang berarti pandangan ini biasa disimpulkan secara general dan tidak dapat dihapus secara total. Tetapi, sekolah dapat mengurangi stereotip dan membangun kepercayaan yang seimbang dan mengakomodasi kebutuhan individu dengan mengembangkan kemampuan literasi media dan mengajak siswa untuk berpartisipasi dalam program yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan dan lingkungan yang bebas bias, stereotype dan diskriminasi terhadap gender.

Keterlibatan masyarakat sekolah

Keterlibatan masyarakat sekolah dalam mewujudkan SMA bebas bias, stereotype, dan diskriminasi terhadap gender dapat dilakukan melalui berbagai cara salah satunya yakni pengembangan program dimana masyarakat sekolah dapat menjadi pengembang program yang mengikuti prinsip kesetaraan gender. Ini dapat dilakukan melalui pemilihan jurusan yang tidak terikat oleh stereotip gender, seperti jurusan yang dipilih perempuan umumnya berkaitan dengan pekerjaan sektor domestic. Selain itu juga, tenaga pendidik harus dilatih dalam perspektif gender yang inklusif, dan kurikulum pendidikan formal harus mengintegrasikan nilai-nilai kesetaraan gender. Selain itu, program beasiswa dan insentif, akses terhadap pelayanan kesehatan yang mendukung, serta kampanye kesadaran masyarakat yang kuat dapat membantu mengatasi kesenjangan gender dalam pendidikan. 

Melatih tenaga pendidik

              Melatih tenaga pendidik dalam perspektif gender yang inklusif dengan memastikan bahwa mereka memahami dan menghormati identitas dan ekspresi gender, serta melawan segala bentuk diskriminasi gender. Selain itu juga menggunakan bahan ajar yang inklusif yang berarti tidak mengandung stereotip gender, sehingga siswa tidak terpengaruh oleh stereotip yang tidak adil.

Akses terhadap pelayanan kesehatan yang mendukung

Pelayanan kesehatan yang mendukung juga dapat membantu mengurangi stereotip gender yang terkait dengan peran gender dalam pendidikan. Misalnya, stereotip bahwa perempuan lebih baik dalam pekerjaan rumah tangga dapat diatasi dengan memberikan akses terhadap pendidikan yang lebih luas dan peluang karier yang lebih luas untuk perempuan. Dengan demikian, perempuan dapat memiliki lebih banyak pilihan dalam karier dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengembangkan diri secara lebih luas.

Pengawasan dan Evaluasi

Pengawasan dan evaluasi terhadap proses pengajaran dan kurikulum merupakan aspek kunci dalam upaya untuk memastikan bahwa pendidikan di SMA tidak memperkuat stereotip gender. Melalui peninjauan yang cermat terhadap materi pembelajaran, bahasa yang digunakan, dan interaksi di kelas, kita dapat mengidentifikasi dan mengatasi konten yang mungkin mengandung stereotip. Selain itu, memberikan umpan balik kepada tenaga pendidik dan menyediakan pelatihan tentang kesadaran gender dan praktik pengajaran yang inklusif dapat membantu mereka mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan kelas yang mendukung semua siswa, tanpa memandang gender. Dengan kolaborasi antara sekolah, komunitas, dan lembaga yang peduli tentang kesetaraan gender, kita dapat membangun lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan merangsang perkembangan siswa tanpa terkekang oleh stereotip gender yang sudah usang.

Mempromosikan kesadaran

            Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti workshop atau seminar dan bisa juga dilakukan di kelas dengan diadakanya diskusi kelas, dorong guru untuk memfasilitasi diskusi terbuka tentang stereotip di kelas mereka. Berikan ruang bagi siswa untuk berbagi pengalaman mereka, pertanyaan, dan pemikiran tentang bagaimana stereotip memengaruhi mereka. Dengan adanya kegiatan tersebut, kita dapat mendukung terwujudnya pendidikan yang inklusif dan juga mendukung para siswa untuk mengembangkan keterampilan kritis mereka.

Kontrubusi siapa saja yang dibutuhkan unttuk mewujudkan hal ini

Semua. Berbagai pihak dibutuhkan kontribusinya untuk mengatasi masalah ini.

  1. Pemerintah dan Kementerian Pendidikan: Mereka harus mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan yang memastikan akses yang sama bagi laki-laki dan perempuan ke pendidikan berkualitas, serta mempromosikan kesetaraan gender di semua tingkatan sistem pendidikan.
  2. Sekolah dan Institusi Pendidikan: Sekolah dan institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan berkeadilan bagi semua siswa, tanpa memandang jenis kelamin mereka. Mereka harus memastikan bahwa kurikulum, pengajaran, dan kegiatan ekstrakurikuler mencerminkan nilai-nilai kesetaraan gender dan menghapuskan stereotip gender.
  3. Guru dan Staf Pendidikan: Guru dan staf pendidikan memiliki peran kunci dalam mendukung kesetaraan gender di sekolah. Mereka harus mengadopsi praktik pengajaran yang inklusif dan memperlakukan semua siswa dengan adil, tanpa memandang jenis kelamin mereka
  4. Siswa: Siswa memiliki peran aktif dalam mempromosikan kesetaraan gender di lingkungan pendidikan. Mereka dapat mendukung rekan-rekan mereka yang mungkin mengalami diskriminasi gender, serta menjadi agen perubahan dengan memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
  5. Orang Tua dan Wali Murid: Mereka harus mendukung anak-anak mereka untuk mengejar minat dan aspirasi mereka tanpa adanya batasan berdasarkan jenis kelamin.

Dengan kontribusi dari beberapa pihak tersebut, kesetaraan gender dalam pendidikan dapat terwujud dan menjadi bagian dari budaya masyarakat yang lebih inklusif dan egalitarian.

DAFTAR PUSTAKA

Aris. (2023, June 27). Pengertian Stereotip: Penyebab, Dan Dampaknya dalam Kehidupan SeHari-Hari. Gramedia Literasi. https://www.gramedia.com/literasi/stereotip-adalah/   

Muliati, & Asyah Idrus, N. (2021). Implementasi kebijakan pemerintah tentang boarding school Di sma negeri 6 barru kabupaten barru. Meraja journal4(2), 91-102.  https://doi.org/10.33080/mrj.v4i2.167

Natasha, H. (2013). Ketidaksetaraan gender bidang pendidikan: Faktor penyebab, dampak, Dan solusi. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender12(1), 53.  https://doi.org/10.24014/marwah.v12i1.513

Ni’am, S. (2017). Pendidikan Perspektif gender Di Indonesia (Menimbang Dan Menakar Peran gender dalam Pendidikan). EGALITA10(1).  https://doi.org/10.18860/egalita.v10i1.4537

Susanti, L. M., Suryati, N., & Astuti, U. P. (2021). Gender inequality and education: A content analysis of Indonesian EFL textbook. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan6(6), 921.  https://doi.org/10.17977/jptpp.v6i6.14883

Yuniar, A., & Yuniasih, A. F. (2022). Pengaruh Kesetaraan gender terhadap Ketimpangan Capaian Pendidikan Di Indonesia Tahun 2015–2019. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia22(1), 116-130.  https://doi.org/10.21002/jepi.2022.07

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *