Fauziah Nur Aisyah Rosyidah fauziah.nur.2303336@students.um.ac.id
Abstrak Sejarah feminisme dari awal mula hingga perkembangannya di Indonesia. Masih banyak kesalahpahaman tentang feminisme dan sejarahnya. Perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan. Feminisme berawal dari usaha-usaha untuk melawan patriarki di Inggris antara tahun 1550-1700. Tokoh-tokoh penting seperti Mary Wollstonecraft dan Harriet Taylor Mill memperjuangkan hak-hak perempuan seperti pendidikan dan hak pilih. Gelombang pertama feminisme (1792-awal abad ke-20) berfokus pada pencapaian hak pilih perempuan.Gelombang kedua feminisme (1960-an) menentang diskriminasi gender dalam berbagai aspek kehidupan seperti reproduksi, pengasuhan anak, dan kekerasan seksual.Gelombang ketiga feminisme (1990-an) mengkritik universalisme feminisme gelombang kedua dan menekankan keragaman pengalaman perempuan. Di Indonesia, feminisme dimulai dengan perjuangan RA Kartini untuk pendidikan perempuan dan emansipasi. Gerakan feminisme di Indonesia terus berkembang dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan dan aktivis-aktivis feminis.Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah “feminisme”, Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” menyampaikan pemikiran yang sejalan dengan prinsip-prinsip feminisme.
- Warna ⇒ menjelaskan tema utama
- Warna ⇒ menjelaskan kondisi yang sekarang
- Warna ⇒ menjelaskan ringkasan tulisan yang kita buat
- RP (1) Sejarah Feminisme dalam Catatan Barat
Feminisme, sebuah gerakan yang sering disalahpahami dengan dibungkus stigma, memiliki sejarah panjang dan penuh liku. Gerakan feminisme awal merupakan sebagai usaha-usaha untuk menghadapi patriarki antara tahun 1550- 1700 di Inggris. Fokus perjuangan feminis awal adalah pada pandangan patriarki tentang status inferior perempuan, karena perempuan dipandang sebagai makhluk yang lebih lemah, lebih emosional, dan tidak rasional. Menurut Hodgson-Wright (2006), perjuangan feminis awal terjadi dalam tiga cara. Pertama, melalui upaya mengoreksi aspek-aspek esensial subordinasi perempuan dalam ajaran Gereja. Kedua, dengan memberontak terhadap berbagai pedoman perilaku yang cenderung mengekang perempuan pada saat itu. Ketiga, dengan membangun solidaritas antar penulis perempuan. Pendidikan intelektual yang diberikan kepada anak-anak perempuan dalam keluarga-keluarga yang menerbitkan inspirasi mengenai pentingnya pendidikan perempuan menjadi dasar bagi pergerakan yang lebih politis dalam feminism (Suwastini, 2013).
- RP (2) Feminisme Gelombang Pertama
Feminisme gelombang pertama dianggap dimulai dengan tulisan Mary Wollstonecraft The Vindication of the Rights of Woman (1792) hingga perempuan mencapai hak pilih pada awal abad keduapuluh (Sanders, 2006). Tulisan Wollstonecraft dilihat Sanders sebagai tonggak gerakan feminisme modern Wollstonecraft menyerukan pengembangan
sisi rasional pada perempuan dan menuntut agar anak perempuan dapat belajar di sekolah pemerintah dalam kesetaraan dengan anak laki-laki. Pendidikan ini diharapkan Wolstonecfrat akan mengembangkan intelektualitas perempuan sehingga mampu berkembang menjadi individu yang mandiri, terutama secara finansial (Richardson, 2002). Perjuangan Wollstonecraft dilanjutkan oleh pasangan Harriet dan John Stuart Mill. Mereka memperjuangkan perluasan kesempatan kerja bagi perempuan dan hak-hak legal perempuan dalam pernikahan maupun perceraian. Feminisme gelombang pertama berawal dari tuntutan yang sama atas pendidikan bertujuan untuk memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan formal berevolusi menjadi tuntutan untuk mendapatkan hak pilih.
- RP (3) Feminisme Gelombang kedua
Feminisme gelombang kedua dimulai pada tahun 1960an yang ditandai dengan terbitnya The Feminine Mystique (Freidan, 1963), diikuti dengan berdirinya National Organization for Woman (NOW, 1966) dan munculnya kelompok-kelompok conscious raising (CR) pada akhir tahun 1960an (Thompson, 2010). Feminisme gelombang kedua dinilai sebagai feminisme yang paling kompak dalam paham dan pergerakan mereka (Thornham, 2006). Feminisme gelombang kedua bertema besar gerakan kolektif yang revolusionis. Gelombang ini muncul sebagai reaksi ketidakpuasan perempuan atas berbagai diskriminasi yang mereka alami meskipun emansipasi secara hukum dan politis telah dicapai oleh feminisme gelombang pertama. Untuk itu, feminisme gelombang kedua lebih memusatkan diri pada isu-isu yang mempengaruhi hidup perempuan secara langsung: reproduksi, pengasuhan anak, kekerasan seksual, seksualitas perempuan, dan masalah domestisitas. Pada gelombang ini muncul 2 aliran feminis, yakni liberal dan juga radikal. Kesetaraan dalam segala bidang dalam feminisme gelombang kedua kemudian berevolusi menjadi tuntutan atas hak-hak istimewa perempuan karena fisiologisnya yang berbeda dari laki-laki.
- RP (4) Feminisme Gelombang ketiga
Sedangkan feminisme gelombang ketiga dan/atau postfeminisme telah memiliki
agenda yang sangat majemuk sejak awal dimulainya. Berbagai kritik terhadap universalisme dalam feminisme gelombang kedua mendorong terjadinya pendefinisian kembali berbagai konsep dalam feminisme pada akhir tahun 1980an. Menurut Brooks (1997: 8), setidaknya ada tiga hal yang mendorong terjadinya reartikulasi konsep-konsep feminisme. Pertama, dari dalam feminisme sendiri yang mulai melihat bahwa konsep mereka bersifat rasis dan etnosentris yang hanya mewakili perempuan kulit putih kelas menengah dan memarginalkan perempuan dari kelompok etnis dan kelas lainnya. Kedua, feminis gelombang kedua dianggap belum cukup Sementara itu, di luar feminisme, berkembang teori-teori postmodernisme, post strukturalisme dan postkolonialisme yang kemudian beririsan dengan perkembangan feminisme.
- RP (5) Perkembangan feminis
Perubahan dalam feminisme dari waktu ke waktu maupun kemajemukan feminisme pasca 1970 an bukanlah sebuah kelemahan. Perubahan dalam tujuan-tujuan feminisme merupakan bukti bahwa feminisme dapat beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan perempuan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi perempuan. Sedangkan kemajemukan dalam feminisme pasca gelombang kedua bukanlah hal yang baru bagi feminisme. Menurut Tong (2009), feminisme merupakan gerakan yang memiliki akar
majemuk. Berbagai aliran yang muncul dalam feminisme, baik dalam feminisme gelombang kedua maupun gelombang ketiga merupakan perkembangan dari perbedaan-perbedaan yang telah dimiliki Perubahan dalam feminisme dari waktu ke waktu maupun kemajemukan feminisme pasca 1970 an bukanlah sebuah kelemahan. Perubahan dalam tujuan-tujuan feminisme merupakan bukti bahwa feminisme dapat beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan perempuan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi perempuan. Sedangkan kemajemukan dalam feminisme pasca gelombang kedua bukanlah hal yang baru bagi feminisme. Menurut Tong (2009), feminisme merupakan gerakan yang memiliki akar majemuk. Berbagai aliran yang muncul dalam feminisme, baik dalam feminisme gelombang kedua maupun gelombang ketiga merupakan perkembangan dari perbedaan-perbedaan yang telah dimiliki
- RP (6) Mengenal Kilas Balik Sejarah Feminisme di Indonesia
Sejarah feminisme dimulai sejak zaman kolonial dipelopori oleh RA Kartini. Sejarah Feminisme Kolonial didirikan oleh RA Kartini. Itu muncul pada akhir abad ke-20, antara tahun 1879 dan 1904. Ia merasa terhina dengan adanya poligami. Belakangan, ia memelopori pembukaan sekolah untuk mendidik perempuan. Setelah itu, lahirlah sosok feminis bernama Dewi Sartika di Jawa Barat. Pada tahun 1912, organisasi perempuan pertama, Puisi Mardica, didirikan. Organisasi ini mempunyai kaitan dengan organisasi nasional pertama, Boedi Oetomo (1908).Setelah berdirinya Poetri Mardika, muncullah organisasi perempuan lainnya bernama Putri Sejati dan Wanita Utama. Pada tahun 1917, didirikan gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, yang darinya lahirlah organisasi perempuan Aisyiyah pada tahun 1920, disusul organisasi perempuan Katolik dan Protestan. Begitu pula dengan Maluku, Minahasa, dan Minangkabau. Keprihatinan utama dari gerakan pengorganisasian Aisyiah adalah perlunya perempuan mendapat pendidikan yang baik dan kondisi poligami yang harus ditingkatkan. Sementara itu, kelompok perempuan Katolik dan Protestan menentang poligami. (Djoeffan, 2001).
Rujukan: Djoeffan, S.H. (2001) ‘Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang’, Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 17(3), pp. 284–300.
- RP (7) Mengenal Kilas Balik Feminisme di Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah “feminisme”, Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” menyampaikan pemikiran yang sejalan dengan prinsip-prinsip feminisme. Kartini meyakini bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan, bekerja, dan berkontribusi pada masyarakat. Kartini menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan sebagai kunci untuk mencapai kemandirian dan kesetaraan. Kartini menentang tradisi patriarki yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat dan memperjuangkan emansipasi perempuan. Karyanya menjadi inspirasi bagi perjuangan perempuan di Indonesia dan menunjukkan bahwa feminisme bukan hanya tentang hak-hak perempuan, tetapi juga tentang kemanusiaan dan kemajuan bangsa.
- Daftar Pustaka
Andrianti, S. (2011). Feminisme. Jurnal Antusias, 1(2), 67–80.
Arivia, G. (2006). Feminisme: Sebuah kata hati. Penerbit Buku Kompas.
Djoeffan, S. H. (2001). Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang. Mimbar: Jurnal Sosial Dan Pembangunan, 17(3), 284–300.
Indriani, L. D. (2022). Kartini yang Tersembunyi: Membaca Pergeseran Emansipasi Kartini. Stiletto Book.
Putranto, T. D., Satiadhi, F. T., & Amelinda, A. (2022). Feminisme Gelombang Kedua Dalam Film “Enola Holmes.” Public Corner, 17(2), 55–71.
Rokhmansyah, A. (2016). Pengantar gender dan feminisme: Pemahaman awal kritik sastra feminisme. Garudhawaca.
Suwastini, N. K. A. (2013). Perkembangan feminisme barat dari abad kedelapan belas hingga postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoretis. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(1).