Hilya Sabrina Rahma Nur Asy Syifa’ hilya.sabrina.2301216@students.um.ac.id
Absrtak Makalah ini mengkaji berbagai faktor yang diduga berkontribusi terhadap QLC, termasuk tekanan sosial, perubahan yang cepat, kurangnya pengalaman hidup, dan kurangnya dukungan sosial. Masa transisi dari remaja ke dewasa muda kerap diwarnai dengan berbagai pertanyaan dan kebingungan terkait identitas, tujuan hidup, dan masa depan. Fenomena pencarian jati diri ini dikenal sebagai Quarter Life Crisis (QLC) yang umumnya dialami individu di usia 20-an dan 30-an. Memahami penyebab QLC dapat membantu individu dalam mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang mereka hadapi selama periode ini.
Catatan
Warna ⇒ menjelaskan tema utama
Warna ⇒ menjelaskan kondisi yang sekarang
Warna ⇒ menjelaskan ringkasan tulisan yang kita buat
(RP1) Quarter Life Crisis
Krisis seperempat abad ini dicetuskan oleh Robbins dan Wilner ditahun 2001 yang didasari dari hasil studi yang mereka lakukan kepada kaum muda di Amerika dengan julukan “twentysometings”. Mereka menjelaskan bahwa quarter life crisis adalah perasaan yang timbul dikala individu mencapai usia mulai dari 18-29 tahun, dimana ada perasaan takut dan cemas akan kehidupan dimasa depan berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, finansial, hubungan romantis dan relasi sosial. Quarter life crisis diartikan sebagai respon terhadap ketidakstabilan, perubahan yang konstan, terdapat pilihan yang banyak serta perasaan tidak berdaya dan panik yang biasa terjadi kepada individu ketika diusia 20-an. Krisis ini kemudian yang dapat memicu terjadinya stress, depresi dan gangguan psikologis lainnya (Febriani & Fikry, 2023)
(RP2) Kebimbangan dalam pengambilan keputusan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada usia menuju dewasa seseorang mulai menjadi individu yang mandiri, termasuk dalam hal membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Semakin banyaknya pilihan dalam hidup akan memunculkan pula harapan-harapan yang membuat individu menjadi takut dan bingung. Hal ini disebabkan individu percaya bahwa keputusan yang dipilih sekarang akan mengubah perjalanan hidupnya, sehingga seseorang akan begitu memikirkan
keputusan yang dibuat merupakan suatu pilihan yang tepat. Adapun yang membuat individu semakin bimbang adalah bahwa tidak adanya pengalaman sebelumnya dalam mengetahui apakah keputusan yang diambil merupakan pilihan yang tepat. Selain itu individu juga bingung keputusan yang dibuat untuk jangka pendek atau jangka Panjang(Robbins & Wilner, 2001)
(RP3) Putus asa.
Kegagalan dan hasil yang kurang memuaskan dalam pekerjaan atau aktivitas tertentu mendorong individu semakin tidak mempercayai dirinya. Terlebih ditambah melakukan beberapa usaha yang dianggap sia-sia dan tidak mendapatkan kepuasan diri. Sehingga, harapan dan impian yang awalnya bisa lebih dikembangkan kemudian menjadi tidak tersentuh akibat munculnya perasaan bahwa apapun pada akhirnya hanya berakhir menjadi kegagalan, tidak bermakna, dan sia-sia. Hal tersebut masih ditambahkan oleh pemandangan sekeliling teman sebaya yang menjadi sukses dan berhasil dalam karir dan akademiknya. Sedangkan ia berfikir mengapa ia tidak mendapatkan itu semua? padahal denga langkah awal yang sama dan dalam usia yang tidak jauh berbeda. Perasaan putus asa tersebut juga bisa muncul karena kurang luasnya jaringan yang dibangun dan mendukung dirinya untuk berkembang.(Sujudi, 2020)
(RP4) Penilaian diri yang negatif.
Kecemasan menjadi dewasa, ketakutan akan kegagalan, ketidaktahuan dalam membuat keputusan penting, dan masalah identitas diri membuat mereka tertekan karena semua hal tersebut merupakan hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. mereka mulai menanyakan dirinya dan kemampuannya apakah sanggup untuk melewati tantangan-tantangan tersebut. meraka ragu akan dirinya sendiri dan merasa bahwa hanya dirinya yang mengalami hal sulit tersebut walaupun pada kenyataannya banyak orang pada seusianya juga mengalami hal yang sama dengan dirinya, sehingga mereka yang mengalami quarter life crisis sering membandingkan dirinya dengan orang lain dan memandang dirinya lebih rendah dari yang lain. mereka akan melihat bahwa teman seusianya sudah memiliki pencapaian hidup yang hebat sedangkan dirinya masih bergelut dengan ketakutan dan keraguan.(Herawati & Hidayat, 2020)
(RP5) Terjebak dalam situasi yang sulit.
Lingkungan yang menjadi tempat mereka beraktivitas, menjadi tempat tinggal atau tempat berasal tentu memberikan pengaruh besar pada pikiran dan tindakan yang dijalani. Hal ini tidak jarang membawa mereka pada situsi yang berat untuk memilih satu keputusan tapi juga tidak bias meninggalkan keputusan yang lain. Situasi demikian ini sebenarnya bisa membuat mereka mencari suatu pernyataan mendasar tentang siapa dirinya, bagaimana dia mengetahui siapa sebenarnya dirinya, apa yang bisa dilakukannya, dan mengapa terjadi situasi seperti ini secara jernih. Tapi situasi sulit tersebut memang tidak mudah dihadapi mereka yang bertambah semakin larut pada kebingungan yang dia maknai seperti labirin yang tak berujung. Terkadang mereka seperti tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi kesulitan tersebut namun di sisi lain dirinya tidak tahu bagaimana caranya untuk memulainya.
(RP6) Cemas.
Perkembangan usia dan besarnya harapan yang harus dipenuhi tapi terasa sulit membuat mereka dihantui perasaan khawatir jika semua itu tidak memberikan hasil yang memuaskannya. mereka menuntut dirinya untuk bisa sempurna dalam melakukan sesuatu dan enggan menghadapi kegagalan yang bisa menimpa dirinya. Hal ini membuat mereka merasa bahwa apa yang dilakukannya selalu membuat tidak nyaman karena bayang-bayang kegagalan yang menghantui.
(RP7) Tertekan.
Ada keyakinan pada diri individu bahwa masalahnya selalu hadir dimana saja dia berada. Membebaninya dalam banyak hal yang semestinya bisa dilakukan dengan efektif. Individu merasakan bahwa ketidak berhasilannya dalam menghadapi hidup membuatnya semakin tersiksa, terlebih harapan keluarga dan masyarakat sekitar membuat seakan bagaimanapun ia harus menjadi orang yang sukses dan berhasil dikemudian hari.(Pande, 2011)
(RP8) Khawatir terhadap relasi interpersonal.
Salah satu hal yang sangat dikhawatirkan oleh mereka pada masa ini adalah terkait hubungannya dengan lawan jenisnya. Hal ini terjadi karena melihat budaya yang berkembang di Indonesia bahwa pada umumnya seseorang akan menikah pada usia tiga puluh ke bawah. Sehingga individu akan bertanya pada dirinya sendiri kapan akan menikah, apakah dirinya siap untuk menikah, apakah seseorang yang dipilihnya sekarang merupakan orang yang tepat menjadi teman hidupnya ataukah dirinya harus mencari seseorang lain yang lebih tepat, walaupundisisi lain dirinya juga memikirkan perasaan orang terdekat. Selain itu individu akan mengkhawatirkan apakah dirinya bisa menyeimbangkan antara hubungannya dengan teman, keluarga, pasangan, dan karirnya.
(Sallata & Huwae, 2023)
Daftar Pustaka
Febriani, G., & Fikry, Z. (2023). Gambaran Quarter Life Crisis Pada Mahasiswa Tingkat Akhir Yang Mengalami Keterlambatan Penyelesaian Masa Kuliah. Innovative: Journal Of Social Science Research, Query date: 2024-05-08 04:18:02. http://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/view/3649
Herawati, I., & Hidayat, A. (2020). Quarterlife crisis pada masa dewasa awal di Pekanbaru. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian …, Query date: 2024-05-09 12:05:27. https://ejournal.uit-lirboyo.ac.id/index.php/psikologi/article/view/1036
Pande, S. (2011). Quarter Life Crisis effect of Career Self efficacy and Career Anchors on career satisfaction. shodhganga.inflibnet.ac.in. https://shodhganga.inflibnet.ac.in/handle/10603/9099
Robbins, A., & Wilner, A. (2001). Quarterlife crisis: The unique challenges of life in your twenties. Query date: 2024-05-08 13:31:55.
Sallata, J., & Huwae, A. (2023). Resiliensi Dan Quarter Life-Crisis Pada Mahasiswa Tingkat Akhir. Jurnal Cakrawala Ilmiah, Query date: 2024-05-08 12:51:18. https://www.bajangjournal.com/index.php/JCI/article/view/4725
Sujudi, M. (2020). Eksistensi Fenomena Quarter-Life Crisis Pada Mahasiswa Semester Akhir Universitas Sumatera Utara. repositori.usu.ac.id. https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/28233