Perempuan, Feminisme, dan Peran Tradisional: Menemukan Identitas di Era yang Berubah

Fauziah Nur Aisyah Rosyidah fauziah.nur.2303336@students.um.ac.id

Abad 21 ini, kaum perempuan dihadapkan pada dilema yang sulit nan kompleks, tentang jurang besar bagaimana menyeimbangkan antara cita-cita feminisme dengan peran tradisional yang melekat pada diri mereka? Di satu sisi, tuntunan abad 21 pada kaum perempuan untuk menjadi perempuan yang berkarakter mandiri, kuat, dan berdaya. Di sisi lain, bayang-bayang norma dan ekspektasi masyarakat tradisional masih membayangi, menuntut kita untuk menjadi istri yang ideal, ibu yang sempurna, dan penjaga nilai-nilai luhur budaya. Bagi banyak perempuan, menemukan keseimbangan ini bisa menjadi perjuangan yang melelahkan. Kita terjebak dalam pusaran pertanyaan yang tak ada titik temu, apakah kita harus memilih salah satu? Haruskah kita melepaskan peran tradisional untuk mengejar ambisi feminisme? Atau, bisakah kita menemukan jalan tengah yang memungkinkan kita untuk tetap teguh pada nilai-nilai feminis tanpa mengabaikan peran tradisional kita?

Menurut saya, jawabannya tidak sesederhana itu. Feminisme bukan tentang menolak peran tradisional, melainkan tentang mendefinisikan ulang peran tersebut dengan cara yang lebih adil dan setara. Perempuan tradisional pun bisa menjadi feminis, asalkan mereka memiliki otonomi atas tubuh dan hidupnya, bebas dari diskriminasi dan kekerasan, dan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi penuh mereka. Menemukan identitas di era yang berubah ini adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Kita perlu belajar untuk mendengarkan suara hati kita sendiri, menantang norma-norma yang tidak adil, dan berani untuk mendobrak batasan. Kita perlu saling mendukung dan memperkuat satu sama lain, membangun komunitas perempuan yang inklusif dan penuh solidaritas. 

Perjalanan ini tidak akan mudah, tapi saya yakin semua perempuan Indonesia memiliki kekuatan dan ketahanan yang luar biasa untuk menavigasi era yang penuh perubahan ini. Kita bisa menjadi agen perubahan yang positif, membangun dunia yang lebih adil dan setara bagi semua, di mana perempuan bebas untuk mengekspresikan diri dan mencapai impian mereka tanpa terikat oleh stereotip dan ekspektasi tradisional. Mari berhenti membuat tembok besar di antara kaum-kaum perempuan, berhenti berkompetisi mari berkolaborasi. Mulai merangkul saudari-saudari perempuan kita yang membutuhkan bantuan dan mengapresiasi bagi kaum perempuan yang berhasil.Membangun rasa solidaritas tidak hanya bagi kamu perempuan yang adil bagi sesama kamu perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki untuk mendapatkan kesetaraan yang adil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *